Lembar Delapan Puluh Empat
Bulan yang katanya penuh cinta sudah lewat hampir seminggu. Ibadah menulis surat selama tiga puluh hari pun sudah usai, meskipun ia tak dapat menyelesaikan akhirnya dengan baik. Jika kau mengharapkan adanya cerita indah ataupun rangkaian kata-kata puitis layaknya sebuah novel cinta pada tulisan ini, ku sarankan untuk segera menutupnya. Ia bukanlah seorang Dewi Lestari dengan semua novel hebatnya, pun bukan Chairil Anwar dengan semua puisi cintanya. Hanya seorang mahasiswa biasa yang sedang berusaha memperbaiki hidupnya.
Ini adalah lembar ke-delapan puluh empat di catatan ke 20 tahun yang sedang dijalaninya. Aku menemukan ia yang masih terduduk di bawah lampu jalan yang kian buram ditelan pekatnya malam. Wajahnya menampakkan sebuah rasa yang tak ingin melepas dan berpisah dengan kesunyian malam. Malam yang enggan ia ganti dengan kacaunya hari. Ia berada pada hari dimana ia tak ingin bertemu pagi, esok, lusa, esok lusa dan esoknya lagi. Tak apa pikirnya jika kiranya semesta kali ini ikut mengamini.
Tutup kuping seolah tak peduli dengan apa yang mereka pikirkan tentang dirinya kali ini adalah yang terbaik. Jengah. Itu yang mungkin ia rasa dengan semua kepalsuan yang ada di tempatnya saat ini. Jika hutan-hutan itu layak untuk ditinggali, mungkin ia sudah lari dan pergi ke hutan seperti yang Rangga tuliskan di bait puisinya. Bahkan itik di tengah pasar saja masih bisa merasakan ramainya hingar pasar ketimbang manusia satu ini.
Terjebak dalam sebuah kerumitan hubungan (dengan) seseorang adalah hal yang paling menyebalkan selain ada cicak di atas langit-langit ketika ingin tidur. Kiranya itu yang ia tau. 4 tahun lalu mungkin hal seperti ini pernah juga dialaminya. Meski kenyataannya pada waktu itu memang tidak mudah namun tidak serumit apa yang terjadi saat ini. Usia yang tak lagi remaja mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Jujur saja, aku sudah letih dengan semua drama yang terjadi di kehidupannya. "Kita adalah apa yang mereka anggap sepantasnya tidak ada. Begitu seterusnya." tatapnya kosong sambil mengatakan hal itu padaku.
Mungkin ia sudah sampai pada titik terlemah di dirinya saat ini. Layaknya seorang badut bergincu, ia berhasil merias wajahnya dengan sejuta senyum dan keceriaan. Jika ada yang paling palsu seperti yang kusebutkan pada alenia ketiga di sini, mungkin itu dirinya. Senyum namun tidak dapat merasakan apa-apa. Menangis namun tidak juga sedih seperti beberapa orang lainnya. Jangan tanya ke depannya harus bagaimana. Memutskan apa yang harus ia putuskan sebagai pilihan di dirinya saja ia tak bisa.
Malam masih menjadi teman paling sunyi diantara hening yang ia punya. Makam mungkin adalah satu yang dibutuhkannya saat ini selain malam. Sebuah rasa yang telah mati entah oleh apa dan siapa butuh untuk segera dikuburkan. Rasa yang katanya sudah tak dapat merasakan apa-apa lagi..
..pun itu cinta.
0 komentar