Ranau Bukan Hanya Tentang Danau
21 Mei 2015
Hari ke-1
Dering handphone pagi itu membuyarkan segala kenyenyakan di alam bawah sadar saya. Suara di ujung sana terdengar begitu gelisah ketika mengetahui saya yang ternyata baru bangun dari tidur. Feeling terlalu excited pada sebuah kegiatan, kadang membuat saya jadi susah tidur di malam harinya, dan karena kebiasaan packing di satu hari sebelum keberangkatan, jadilah mata ini hanya terpejam beberapa jam sebelum paginya (dipaksa) terbuka. Bersama dua orang teman yang entah sudah berapa lama menunggu, saya berangkat dari Indralaya menuju stasiun Kertapati menemui yang lainnya.
Layaknya hari-hari biasanya, stasiun pagi itu masih sibuk menjadi bisu pertemuan dan perpisahan banyak orang. Termasuk saya yang pagi itu dipertemukan dengan rombongan yang sebagain besar berisi teman yang memang sudah akrab dan dua orang baru yang belum saya kenal sebelumnya.
Devi, salah satu anggota kami yang awalnya tidak ikut tiba-tiba mengabarkan bahwa ia jadi ikut dan sedang dalam perjalanan menuju ke stasiun. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 07.40 dan Devi masih di jalan yang cukup jauh dari lokasi, sementara kereta berangkat pukul 08.30. Beberapa dari kami termasuk saya masuk ke peron terlebih dahulu untuk menyusun barang dan mencari gerbong tempat kami duduk. Canda yang terlontar saat dalam gerbong dihiasi oleh cemas di masing-masing kami karena menunggu yang lainnya. Reka adegan Ian 'Saykoji' di film 5cm yang berlarian di peron mengejar kereta mulai terbayang di kepala, beberapa petugas berseragam putih yang berlalu lalang juga semakin menambah gelisah, takut kalau kami akan terpisah. Mestakung! Dari kaca jendela saya melihat Abdan yang disusul Dimas, Devi dan Rizki berlari masuk ke gerbong. Surprising, ada Bayu di sana. Tidak sampai 10 menit dari mereka duduk, suara pluit terdengar nyaring tanda kereta akan segera melaju.
Di kereta dari Kertapati menuju Baturaja |
Drama di stasiun pagi itu mengawali hari saya dan 9 orang lainnya sampai tiga hari ke depan. Seminung menjadi tujuan perjalanan kami kali ini. Seminung merupakan salah satu gunung yang berada di Sumatera Selatan, tepatnya di antara dua provinsi yakni Lampung dan Sumatera Selatan. Termasuk di wilayah Danau Ranau, tidak menjadikan gunung Semiung se-famous danau hasil aktivitas vulkanik tersebut, Namun begitu, Seminung tetap memiliki pesonanya sendiri dan layak untuk dijadaikan tujuan wisata di kawasan Ranau. Terdapat beberapa alternatif transportasi yang dapat digunakan untuk menuju ke lokasi, salah satunya kereta api. Sayangnya, kereta tersebut tidak dapat mengantarkan langsung ke lokasi, sehingga kami harus transit di salah satu stasiun dan berganti kendaraan.
Kurang lebih pukul 14.00 kami tiba di stasiun Baturaja. Mengingat hari yang kian terik dan perut yang belum terisi sejak berada di kereta, kami singgah di salah satu rumah makan terdekat sembari menunggu mobil yang akan mengantarkan ke Ranau. Tidak lama setelah makan, mobil travel yang sudah dipesan sebelumnya tiba. Hampir semua dari kami menghabiskan waktu dalam mobil dengan tertidur, selain karena lelah, kondisi dalam mobil yang sempit juga membuat gerak kami terbatas. Berbeda dengan kereta yang luas, kami dapat lebih leluasa bergerak atau sekedar untuk meluruskan kaki, susunan kursi yang saling berhadapan juga membuat kami lebih nyaman saat mengobrol, meskipun pinggang letih karena kursi yang begitu tegak.
Semburat senja hari itu menyambut kedatangan kami di Ranau. Seorang lelaki setengah baya yang mengaku pengurus daerah setempat langsung menghampiri ketika melihat kedatangan kami bersepuluh lengkap dengan carrier. Ia terus bertanya dan menawarkan segala yang ia bisa, mulai dari penginapan sampai kapal untuk menyeberang. Singkat cerita, saya dan rombongan menolak tawaran warga tersebut karena kami telah dijemput oleh salah seorang kerabat teman saya.
Danau Ranau, sore itu |
***
Hari ke-2
Kami sampai di Kotabatu, bermodalkan membaca catatan perjalanan orang lain di Google, kami bertanya dengan warga setempat tentang juru kunci dan bagaimana tata cara jika ingin mendaki ke Seminung. Setelah nego harga boat kami menyebarangi danau terluas kedua di Indonesia tersebut hingga sampai di kaki gunung.
Di kaki gunung |
Setelah berdoa bersama, kami berjalan mengikuti jalan setapak dengan dipimpin oleh Bang Rincan. Kebun kopi milik warga di kiri-kanan jalur menjadi pemandangan awal. Sekitar pukul 12.00 kami sudah tiba di shelter 1, dan karena hari yang semakin terik, kami berhenti untuk makan siang sembari beristirahat sejenak di sini. Shelter 1 ditandai oleh musholla sederhana yang terletak di sisi sebelah kanan jalur. Di shelter 1 inilah terdapat (satu-satunya) sumber air yang tersedia selama perjalanan sampai ke atas. Itu pun bukan sumber air, melainkan bak tampungan yang airnya berasal dari hujan. Kami membawa kurang lebih 10 botol air untuk persediaan, ditambah satu plastik bening besar yang kami isi air dan dimasukkan ke dalam carrier.
Shelter 1 |
Meneruskan perjalanan ke atas, kami mulai merasakan vegetasi yang berbeda, tepatnya setelah melewati pintu rimba. Hutan hujan tropis khas Indonesia akan dilewati sepanjang perjalanan hingga ke puncak. Hutan yang kami lewati saat itu masih lebat, sangat alami dan terlihat jarang dimasukki oleh manusia. Sinar matahari yang masuk begitu minim, membuat hutan semakin lembab. Kontur tanah yang basah dan banyaknya tanaman jenis bambu-bambuan yang tumbuh, membuat pacet hidup berkembang di sini. Ya, Gunung Seminung memang terkenal dengan pacetnya, dan benar saja, beberapa dari kami sempat terkena gigitan pada bagian kaki.
Foto pacetnya ga jelas, jadi ini aja temennya di hutan, si kaki seribu |
Kami berjalan santai sampai pada akhirnya kami sadar bahwa hari mulai sore namun belum juga ada tanda-tanda puncak sudah dekat. Perlahan tapi pasti matahari mulai menjauhkan kami dari cahayanya. Puncak? entahlah tidak ada seorang pun dari kami yang tahu seberapa jauh lagi akan sampai di puncak. Ya, ini adalah kali pertama bagi kami menginjakkan kaki ke gunung Seminung. Meskipun demikian, kami tetap mengikuti aturan pendakian yang safety. Tiga orang di antara kami juga merupakan anggota himpunan pecinta alam di kampus.
"Ini mana puncaknya, gak sampe-sampe?" batin saya saat itu dan mungkin itu juga yang dirasakan oleh teman-teman lainnya. Saya berjalan di baris kedua, mengimbangi Bang Rincan yang membawa alat penerang sambil terus menggiring Devi dan Fau di belakang saya. Meskipun di lini belakang salah satu dari kami sempat mengalami keram, kami tetap saling tunggu agar jarak kami tetap dekat.
Setelah kurang lebih 6 jam berjalan menembus hutan dengan jalur pendakian yang cukup terjal, akan terlihat hamparan ilalang dan rumput hijau yang berbatasan langsung dengan birunya langit. Sekitar pukul 18.00 kami tiba di puncak. Di atas sana terdapat semacam bivak sederhana yang terbuat dari seng. Jadilah kami berkumpul di depan bivak untuk memasak dan saling bercengkrama sebelum terlelap dalam tenda. Langit kala itu begitu cerah, malam kami beratapkan ribuan bintang dan meskipun angin di gunung malam itu cukup dingin, namun tetap tidak mengalahkan kehangatan yang kami buat.
Puncak Seminung |
***
Hari ke-3
Wacana ingin melihat sunrise berakhir di dalam sleeping bag. Pun demikian, pemandangan pagi yang Seminung berikan di atas 1881 mdpl sungguh di luar ekspektasi saya. Lautan awan dan matahari mulai membumbul di ufuk timur. Jajaran bukit barisan di sebelah barat juga bersanding dengan hutan mati bekas kebakaran beberapa tahun lalu. Beruntung kami sempat menemukan Anaphalis javanica atau yang akrab kita sebut Edelweis di salah satu sisi puncak gunung. Bunga yang kami temukan tidak banyak dan masih baru belajar tumbuh. Semoga tetap hidup dan abadi di atas sana, seperti sapaanmu, sang bunga abadi. Jika beruntung, kabut akan membuka dan memperlihatkan pemandangan Desa Kotabatu dengan latar Danau Ranau dapat terlihat jelas dari atas.
Anaphalis javanica |
Siang harinya kami kembali turun ke kaki gunung. Tidak ingin melewatkan sore hari begitu saja, kami bersiap untuk berendam di kolam pemandian air hangat yang berada tepat di kaki gunung. Air panas yang keluar dari bawah gunung bercampur dengan air dingin dari danau, sehingga tidak jarang kita akan merasakan sensasi panas di satu sisi dan akan dingin di sisi lainnya. Sore hari di danau Ranau terasa begitu damai. Tinggal tersisa kami dan beberapa orang warga lokal yang masih berendam di kolam sore itu. For your Information, tidak ada tiket masuk untuk ke pemandian air panas tersebut, semua gratis. Pengunjung hanya perlu membayar uang retribusi jika menggunkan toilet.
Bermodal ikan yang kami beli dari nelayan setempat, kami bahu-membahu untuk menyiapkan fine-natural-dinning kami. Bukan di restoran atau hotel berbintang tapi di tepi danau, di bawah bintang dan dengan lauk yang cukup mewah; ikan bakar. Keadh seorang anggota kami yang sebelumnya sempat cidera sampai tidak bisa berjalan juga sudah mulai membaik setelah diurut oleh warga di sana. Setelah makan kami beralih ke salah satu pemondokan untuk mendirikan tenda di sana. Malam itu kami habiskan untuk sharing banyak hal.
***
Hari ke-4
Hmm, sampai juga di penghujung hari. Enggan rasanya meninggalkan tempat ini dan kembali ke rutinitas, tapi apa daya, beberapa deadline telah menunggu untuk dikerjakan. Setelah berkemas, kami kembali ke dermaga dan menunggu kedatangan mobil yang akan mengantarkan kami kembali ke Palembang.
See you next -another our journey time !!!
Akomodasi:
Palembang - Kotabatu ; Travel Rp.120.000
Palembang - Baturaja ; Kereta Api Rp.35.000
Baturaja - Kotabatu ; Travel Rp. 50.000
Sewa speadboat PP ; Rp.20.000/orang
**Biaya tentatif, dapat berubah sewaktu-waktu
0 komentar