Seorang Ksatria Pena
Palembang, 28 Januari 2014
Belum sudah kering rasanya mata ini dari sisa tangis yang keluar pada malam beberapa jam sebelum hari ini. Handphone berbunyi tanda sebuah pesan masuk. Tak pernah terpikir ternyata itu sebuah berita duka. Suara getir seorang perempuan diujung sana menjawab panggilan dariku dan rasa tidak percaya ini. Air mata tak tertahan dan kembali membasahi malam yang belum pantas disebut pagi itu.
Tak butuh waktu lama untuk berpikir. Aku memutuskan untuk pergi ke rumah duka dan meninggalkan kuliah pada hari ini. Perjalanan lebih dari 32km aku lewati bersama beberapa keluarga GS yang terlihat tidak seperti hari biasanya.dan lebih menampilkan wajah duka.
Disini kami membisu. Di depan raga seorang sahabat yang selama ini selalu terlihat ceria kali ini Ia diam kaku tak berdaya. Untaian doa disertai sesak tangis mengiringi perjalanan mengantarkan saudara kami ke tempat peristirahatan terakhir.
Lagi-lagi kami semua hanya bisa terduduk di depan pusara tempat Ia diperbaringkan. Memori kebersaaman dengannya mungkin sedang berkecamuk hebat di kepala kami masing-masing.
Dedek Mareta Setyabudi. Seorang biasa saja yang ternyata istimewa di mata kami semua. Seorang ksatria pena di tempat kami menuliskan cerita. Seorang teman, sahabat, rekan kerja, keluarga yang tak pernah mengenal putus asa sampai saat terakhirnya.
Kehilangan tak pernah sederhana. Sekalipun itu hanya tutup pena. Jangan sampai menyesel ketika kehilangan sudah berbicara.
Selamat Jalan sahabat. Tenanglah disana. Kau akan tetap bersama ku bukan? Mendampingiku dari atas sana seperti yang kau katakan jika aku menjadi redakturmu. Semoga aku dapat tetap selalu menjadi ‘mega’ yang selama ini kau artikan padaku mega itu besar. Yaa, mega dalam segala hal termasuk berbesar hati dalam menerima kenyataan yang kadang tak sesuai harapan.
Selamat jalan, Dek :”))
0 komentar