Hatinya pilu, tak dapat dibuka apalagi sekedar untuk mendamaikan rindu. Mata lusuh itu mencoba menahan air yang kapan saja bisa datang membanjiri pipi layaknya sebuah bah. Kenangan akan sebuah kebersamaan sulit atau mungkin enggan untuk ia dibuang, bahkan disaat peluk tak lagi bisa menenangkan ingatan yang liar menjalari pikiran. Lututnya bersimpuh sedang jemari di tangannya coba menggapai tangan seseorang yang biasa menguatkan.
Cangkir tempat dulu ia menumpahkan semua kasih dan sayangnya kini kosong. Ampas bekas kopi yang pernah ia buat pun tak pernah lagi menghitami dasar gelas. Baginya, tak ada lagi pembahasan menarik perihal kopi dan antek-anteknya. Hitam terlalu hitam untuk dijadikan putih bahkan untuk sebuah abu-abu. Ketika ampas tak lagi berbekas, mungkin sudah waktunya untuk segera berkemas.
Seingatnya, ia sudah mampu menatap balik mata yang tak pernah lepas memandangnya bahkan ketika mulut sibuk mengunyah bakwan jagung yang dibawa. Penjahat waktu, mungkin adalah yang paling tepat bagi ia yang merengek saat menawar pertambahan waktu untuk bisa bersama. Tentu saja ia selalu berhasil menahan beberapa menit singkatnya hanya
untuk sekedar duduk, bersandar dan berbicara perihal
apa saja sambil menatap orang bermain bola di lapangan ujung sana.