Prau, For The First Time In Forever

by - 09:27

6 Agustus 2014, Jakarta
--------
Ini adalah hari ke-sekian setelah perayaan Idul Fitri 1435H, saya masih menghabiskan waktu liburan di rumah dengan tidak melakukan apa-apa. Malam itu, sebuah pesan datang dari salah seorang sahabat. Sebuah tawaran perjalanan yang menjadi titik balik saya kini untuk lebih mencintai diri saya sendiri dan Indonesia tentu saja.

Sagitarius dan perjalanan adalah dua kesatuan yang entah sejak kapan melekat pada diri saya. Malam itu saya begitu antusisas dengan panggilan alam yang disampaikan melalui teman saya ini. Meskipun terlihat agak berat, pada akhirnya ayah memeberikan izin untuk saya bertualang kali ini. Sebagai seorang pemula, saya banyak bertanya pada teman-teman yang sudah terlebih dahulu melakukan pendakian ke banyak gunung. Perlengkapan pribadi seperti sepatu tracking, backpack, sampai jaket yang menjadi syarat kelengkapan seorang pendaki kebanyakan saya dapatkan dengan meminjamnya ke teman.

8 Agustus 2014
Berbekal petunjuk dari teman saya yang sudah terlebih dulu berada di lokasi, saya berangkat sore itu dari pool bus Pangkalan Jati, Kalimalang menuju terminal Wonosobo. Jujur saja, ini perjalanan pertama saya menjelajahi Jawa bagian tengah seorang diri. "Nyebrang pulau sendiri aja berani, masa yang masih satu pulau gak berani" yakin saya pada diri sendiri.

9 Agustus 2014
Sekitar pukul 04.00 waktu setempat saya tiba di Wonosobo. Mengetahui saya yang baru pertama kali datang ke mari, sang supir menyarankan untuk menunggu di pool bus yang saya tumpangi, mengingat kondisi terminal Wonosobo tempat saya janjian ketemu dengan teman saya yang masih gelap dan sangat sepi. Saya menurut. Saya duduk dan menunggu di dalam bus sambil terus menghubungi teman saya yang sepertinya tertidur. Matahari pagi itu mulai mengganti gelapnya malam, saya memberanikan diri keluar bus dan melihat kondisi sekitar. Orang-orang mulai ramai lalu lalang, saya merapikan barang dan memilih menunggu di warung kopi yang kebetulan juga berada di sana. Teh manis hangat yang saya pesan tidak mengalahkan dinginnya pagi sendiri saya di Dieng.

Berkali-kali sang supir yang membawa saya ke sini menanyakan keberadaan teman saya dan mulai terlihat sedikit khawatir, terima kasih pak telah menjaga saya :)). Sungguh bukan awal yang bagus untuk sebuah pertemuan yang telah lama hilang. Sebelum bertemu, kami sempat berdebat panjang hingga saya merajuk saking merasa ditelantarkannya oleh teman saya ini. Sekitar pukul 08.00 ia datang ke warung kopi tempat saya menunggu selama berjam-jam. Kami menuju ke terminal wonosobo setelah mampir ke minimarket untuk melengkapkan logistik yang akan dibawa.

Re-pack dan re-check perlengkapan kami lakukan sambil menunggu kedatangan 4 orang lainnya yang akan menjadi tim kami selama mendaki. Saat menunggu, kami bertemu dengan rombongan lain yang juga sedang menunggu timnya. Teman saya menghampiri mereka, berkenalan dan berdiskusi untuk berangkat ke atas bersama, saya yang tidak terbiasa dengan situasi seperti ini ikut dibelakang teman saya dan mulai ikut berkenalan.

Tim kami kini menjadi 15 orang dengan 1 orang porter sekaligus guide di dalamnya, entah bagaimana pembagiannya yang jelas saya ikut bersama 5 orang tim awal saya. Kami menyewa angkot dari terminal Wonosobo menuju titik awal pendakian. Perjalanan ke titik awal pendakian dengan angkot sekitar 20-30 menit. Setelah melakukan registrasi, kami berjalan ke basecamp tempat guide yang membawa rombongan yang kami temui di terminal tadi. Hujan semakin menambah dinginnya Dieng di hari itu. Di basecamp beberapa dari kami memilih untuk istirahat, ada yang berjalan keluar dan sisanya termasuk saya memilih ngobrol dan bercerita. Meski agak canggung saya mencoba mengakrabkan diri dengan teman-teman yang baru saya temui dalam beberapa jam. Setelah hujan reda dan semua perlengkapan siap, kami memulai pendakian sekitar pukul 17.00 WIB.

Gerbang masuk kawasan Dieng 
Foto sebelum memulai pendakian
Kami mulai mendaki, saya berada di tengah rombongan. Jujur saja saya tidak ada persiapan fisik sebelum mulai pedakian ini. Di tanjakan pertama saya sudah merasa sangat begitu lelah, saya mencoba mengatur tarikan napas saya yang semakin pendek ketika kelelahan. Sebagai seorang yang baru pertama kali mendaki, ada ketakutan sendiri yang saya rasakan. Entah takut ditinggal karena lamban, takut jatuh tergelincir dan segala pikiran negatif di kepala. Beruntung saya memiliki tim yang solid dan saling mengerti sehingga ketakutan saya hanya berakhir di pikiran.

Mereka bilang jalur pendakian Prau cukup sulit untuk seorang pemula. Saya yang baru pertama kali ke sini pun mengaku medan yang dilewati cukup sulit. Hutan dengan kemiringan lumayan dengan banyak tanjakan tanpa pijakan berpadu dengan tanah merah yang licin, beban di pundak yang lumayan berat, dingin yang begitu menusuk, ditambah gelapnya malam semakin menyulitkan perjalanan, untuk saya khususnya. Setelah melewati POS 3 yang katanya paling berat, mas guide ngasih tau kalau kita tinggal ngelewatin POS 4 lalu sampai puncak. Mendengar hal tersebut tentu menambah semangat saya untuk segera masuk ke tenda dan beristirahat. Dinginnya angin gunung malam itu tidak mengalahkan tekad kami untuk terus berjalan. Sekitar pukul 20.00 WIB kita sampai di puncak. Sepertinya kami adalah 5 orang terakhir dari tim yang sampai di puncak. Warna-warni tenda di sepanjang areal camp menjadi pemandangan yang Prau suguhkan pertama ketika saya tiba di puncak. Bang Imen yang sudah tiba terlebih dahulu untuk memasang tenda memandu kami yang baru sampai menuju ke tenda untuk segera mengahangatkan diri.

Saya tidak tahu apakah ini dialami oleh semua pendaki pemula atau hanya saya saja yang baru pertama kali diselimuti angin gunung. Prau saat itu sungguh amat sangat terasa dingin bagi saya, padahal baju basah selama pendakian tadi sudah saya ganti dan melapisinya lagi dengan jaket. Beberapa dari kami sudah menyalakan api di kompor dan langsung masak air untuk dibuat kopi ataupun coklat hangat. Salah seorang rekan menawarkan milo untuk menghangatkan diri saya, tanpa ragu tentu saya mengiyakan. Alih-alih milo coklat hangat, yang masuk ke kerongkongan adalah milo rasa kuah mie :)))

Sementara yang lainnya sudah istirahat di dalam tenda, saya bersama Dilah, bang Ijal, bang Adji dan bang Imen masih di luar menyelesaikan masakkan kami. Kami berbincang, berfoto dan berebut meletakkan tangan di atas api kompor. Usai mengisi perut, kami masuk ke tenda untuk beristirahat. Sialnya saat itu saya tidak berhasil mendapatkan kantung tidur untuk dipinjam, jadilah saya tidak membawanya sehingga malam itu saya berbagi selimut dengan teman saya. Tubuh saya tidak dapat bekerja sama dengan dinginnya Prau malam itu, alhasil saya tidak dapat tidur sepanjang malam meski sudah memeluk teman saya mencari hangat.

10 Agustus 2014
Mata memejam namun pikiran saya masih tetap terjaga hingga subuh datang. Saya keluar tenda setalah melihat beberapa tim di tenda lain juga mulai berhambur keluar. Matahari menyembul malu-malu di ufuk bagian timur. Pagi itu saya terus menggosok-gosokkan kedua telapak tangan saya sambil sesekali menadah hangat dari sang fajar. Puas berfoto dan mengelilingi bukit kami semua kembali ke tenda. Saya yang semalaman tidak tidur lebih memilih mengistirahatkan mata dan badan saya, sedang yang lainnya menyiapkan makan untuk sarapan. Saya mendapat banyak pelajaran berharga dari perjalanan ini. Mendaki gunung bukan hanya soal keindahan yang ada di puncak, tapi lebih dari itu. Tentang keteguhan hati, keberanian, ketepatan mengambil keputusan, kekompakkan, kebersamaan dan banyak hal yang tidak akan di dapatkan dari sekedar jajan di pusat perbelanjaan. Berhasil berada di puncak gunung Prau dengan ketinggian 2565 meter di atas permukaan laut adalah hadiah yang bisa saya beri utuk diri saya sendiri.

Jika dipikir turun gunung akan lebih mudah, lagi-lagi saya salah. Menahan beban badan plus backpack dengan mengandalkan kekuatan lutut adalah hal yang sangat menyusahkan. Mungkin kalau bisa menggelinding saya lebih memilih melakukan itu. Sekitar pukul 10.00 WIB kami turun dan kembali ke basecamp untuk bersih-bersih dan beristirahat. Rombongan kami kembali berpisah di terminal Wonosobo, saya dan teman saya Dilah memilih untuk makan siang terlebih dahulu sebelum meninggalkan terminal. 
Sunrese, yeah!
Entah dari sebelah mana arah mata angin, ini Sindoro Sumbing
Bukit Teletubbies
Selfie
You jump I jump!
My team
Saya yang berencana bertolak ke Jakarta keesokan harinya langsung menukarkan tiket kepulangan menjadi hari itu juga setelah mendapat kabar bahwa Eyang saya di Jakarta telah meninggal dunia. Semesta maha bijaksana. Adik saya menelpon saat saya sudah berada di bawah (di atas tidak ada sinyal) tepat sesaat sebelum saya meninggalkan terminal. Bus yang saya tumpangi untuk ke Jakarta kali itu sudah penuh dan nyaris berangkat, lagi-lagi semesta amat baik hati karena bus berhenti tepat beberapa menit sebelum saya menukar tiket, meski mendapat kursi tambahan di samping supir saya merasa beruntung karena masih bisa duduk.

11 Agustus 2014
di Rumah, Jakarta
Kedatangan saya pagi itu menjadi sorotan bagi banyak orang termasuk saudara-saudara dan tamu yang saat itu memenuhi kediaman. Saya tiba sesaat setelah jasad eyang saya dimandikan, terima kasih Tuhan, saya masih mendapat kesempatan untuk  terakhir kalinya mencium eyang saya sebelum dikafankan.

You May Also Like

0 komentar