Hujan Pertama dan Perbincangan Panjang Terakhir

by - 09:39

Beberapa rindu diciptakan untuk membuat pemiliknya tetap waras. Beruntungnya, bukan hanya aku sang pemilik rindu kali ini, tetapi juga mereka yang berada di atas sana.

“Kepada rintik hujan pertama di bulan November, kamu di mana? Tahukah kamu bahwa semesta kini sedang menanti kehadiranmu?” aku mendongak ke atas langit, berharap ia yang dulu pernah singgah mendengar lirih hatiku ini.
***

Aku ingat, saat masih menjadi cacing kecil aku pernah bertemu dengan salah satu rintik air hujan. Ia juga masih sangat kecil di pertemuan pertama kami dulu. Gio, begitu ia dengan lantang menyebutkan namanya. Hari itu merupakan kali pertamanya ia turun ke bumi.

“Bagaimana kau bisa utuh sampai di pelataran rumah kami? Ayah pernah bercerita tentang jauhnya langit di atas sana dengan bumi tempat tinggal kami?” tanyaku penasaran. 

Gio menanggapi pertanyaanku dengan begitu antusias. Belum pernah aku menemukan teman berbicara semenarik Gio. Semenjak itu aku dan Gio menjadi sahabat karib, kami menghabiskan waktu bersama, membahas dan berdiskusi mengenai banyak hal. Gio juga bercerita tentang kehidupan ia beserta keluarganya di atas awan sana, tentang hangatnya matahari pagi dan ganasnya angin menarik ulur gumpalan “cotton candy” tempat tinggal mereka. Ia mengaku begitu tertekan ketika dirinya mulai cukup usia untuk menjadi rintik pemula. Saat di mana sebulir air harus turun ke bumi untuk menjadi rintik hujan. Ketakutannya untuk berhadapan dengan gravitasi di loncatan pertama sempat membuat Gio dijauhi teman-temannya. Semua kecemasan Gio tentang makhluk bumi sirna ketika bertemu denganku. Setidaknya seperti itulah pengakuannya. Gio adalah satu yang paling kunanti ketika ku lihat awan tak lagi berwarna putih, dan aku akan menjadi tujuan pertama Gio ketika ia dan teman-temannya turun ke bumi.

Aku tumbuh menjadi cacing dewasa dan begitupun dengan Gio yang bukan lagi sebulir rintik kecil. Ia tumbuh menjadi bulir air yang begitu mengagumkan dan kini sudah siap menjadi hujan.

***

Bulan berlalu, kemarau panjang terjadi di berbagai belahan bumi. Termasuk di tempatku. Cukup lama aku berdiam diri di bawah tanah menjaga tubuhku agar tetap basah. Setelah mengambil sisa-sisa embun di permukaan tanah seperti yang biasa aku lakukan setiap hari, pagi itu aku tidak langsung kembali. Aku mulai bertanya pada langit tentang keberadaan Gio, sahabatku.

Sebagai seekor cacing yang sekarang sudah tidak lagi muda, aku berharap sekali dapat bertemu dengan Gio sebelum aku kembali melebur bersatu dengan tanah.

Semesta sepertinya mendengar doaku, matahari siang itu mulai tertutup oleh awan yang banyak membawa calon hujan.

“Aku selalu memperhatikan dari atas sana, berharap juga bisa segera menemuimu dan kembali berbicara mengenai banyak hal seperti hari ini." Ya, kami berbicara banyak hal, menceritakan perjalanan satu sama lain selama tidak ada pertemuan. “Mungkin ini akan menjadi hari terakhirku turun membasahi bumi sebagai aku.” ucap Gio lirih. 

Seperti yang Gio sampaikan, hari itu menjadi hari terakhir kita. Gio tidak langsung kembali ke langit seperti biasanya, ia akan menuju ke laut untuk kemudian kembali menjadi rintik hujan lainnya. Hari pertama hujan setelah kemarau sepanjangan juga menjadi hari terakhir aku dapat berdiskusi dengannya, membicarakan segalanya panajang lebar.

You May Also Like

0 komentar